Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pecinta Blog Pendidikan Kreatif "Holiparent" yang saya hormati,
Beberapa hari yang lalu saya menghadiri rapat orang tua murid dan guru di sekolah anak saya (SMA Kolese Loyola Semarang). Saya hadir berdua dengan istri, dan karena kami sama-sama lulusan dari SMA tersebut, maka kesempatan ini sekalian sebagai ajang nostalgia.
Tetapi memang zaman sudah berubah. Saya dan istri saya sudah lulus dari SMA Kolese Loyola 25 tahun yang lalu, sehingga kami berdua harus menyimak dengan sungguh-sungguh penjelasan yang disampaikan oleh para guru tentang Kurikulum 2013 serta penilaian di rapor yang sangat berbeda dengan zaman saya sekolah dulu.
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Dulu di zaman saya sekolah (satu zaman juga dengan sekolah Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak), nilai di rapor adalah angka 5, 6, 7, 8, 9 (setahu saya, belum pernah di rapor ada nilai 10). Kalau nilai di rapor 5 artinya "merah" (meskipun ditulis dengan tinta hitam). Sekarang, nilai di rapor adalah C, C+, B-, B, B+, A-, A. Nilai B adalah 3, A adalah 4, seperti saat kita kuliah dulu. Toh nilai ulangan harian dan ujian mid semester / semester masih memakai nilai 10 sampai 100, tinggal nanti dikonversi menjadi nilai 1 sampai 4 di rapor (2 = C, 3 = B, 4 = A, dan sebagainya). Jelas, ini merupakan sesuatu yang baru buat saya (membaca rapor murid SMA seperti ini).
Selain itu, nilai di rapor bukan hanya dari aspek pengetahuan (= hafalan + ujian tertulis), tetapi juga dari aspek ketrampian (= praktikum) dan sikap spiritual & sosial.
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Sekali lagi saya menyampaikan bahwa tulisan kali ini adalah merupakan sharing dalam menemani anak bersekolah menggunakan Kurikulum 2013. Kalau dulu kita sekolah SMA yang penting adalah hafalan supaya dapat menjawab soal ulangan / ujian tertulis dengan baik, maka sekarang nilai praktikum juga mempunyai bobot yang sama dengan nilai pengetahuan (hafalan / pemahaman). Di zaman kita dulu memang ada praktikum, tetapi sifatnya masih sebagai pelengkap teori saja.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang tua dalam menemani anaknya dalam situasi seperti ini ?
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Kegiatan praktikum adalah kegiatan ketrampilan. Ketrampilan itu diperoleh seseorang karena dia melakukan (mempraktekkan) sesuatu berkali-kali, sehingga dia menjadi terampil. Dalam hal ini, saya berpikir bahwa anak memang harus ditemani untuk melakukan / mempraktekkan teori-teori yang diajarkan di sekolah (misalnya Fisika) di rumah, sehingga pada saat praktikum di sekolah, anak sudah bisa melakukan dengan trampil dan hasilnya baik. Ini sebenarnya sama dengan murid yang baik akan belajar / membaca materi di rumah sebelum materi itu diajarkan oleh guru di sekolah pada keesokan harinya, sehingga murid SUDAH MEMPERSIAPKAN DIRI.
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Menyediakan alat-alat peraga di rumah supaya anak bisa mempersiapkan melatih diri di rumah sebelum hari pelaksanaan praktikum memang bukan hal yang sederhana. Dan jujur saja, saya juga baru memulai. Namun demikian, ada satu semangat yang harus kita tanamkan dalam hati, yaitu bahwa zaman sudah berubah, dan kita sebagai orang tua harus mendukung anak dalam mempersiapkan diri menerima teori dari guru di keesokan hari, maupun menjalankan praktikum esok hari.
Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"
-----oOo-----
Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph.