Karena hujan dan tidak bisa olah raga jalan kaki, maka saya di rumah saja membaca koran pagi yang sudah datang. Salah satu beritanya tentang Mahasiswa Bidikmisi yang hidup prihatin di Semarang (koran Seputar Indonesia, Minggu 13/01/2013, halaman 1). Mereka sering terpaksa puasa dan jalan kaki ke kampus, karena bantuan biaya hidup yang diberikan pemerintah Rp 600.000 per bulan sangat mepet untul bayar kos dan makan. Bidikmisi adalah program yang diberikan oleh pemerintah bagi mahasiswa yang pandai dan berprestasi tetapi tidak mampu secara ekonomi.
********************
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,
Tulisan ini saya buat untuk tujuan mengajak kita merenung dan bisa mengajak ngobrol anak-anak kita tentang "ada orang-orang yang untuk bisa berselolah / kuliah harus berjuang keras demi mewujudkan hidup yang lebih baik".
Semoga setelah itu anak kita jadi lebih bersyukur dan jadi lebih rajin sekolah, dan siapa tahu juga tergerak untuk memberikan bantuan keuangan kepada sesama yang membutuhkan (misalnya kepada panti asuhan di dekat rumah, tidal harus kepada Mahasiswa Bidikmisi).
Saya sendiri memang sering mengajak anak ngobrol tentang "perlunya hidup prihatin untuk mendisiplinkan diri dan menguatkan semangat untuk mencapai tujuan / cita-cita".
Memang, standar "hidup prihatin" itu berbeda-beda untuk setiap orang. Bahkan, untuk satu orang yang sama pun standar "hidup prihatin" pun bisa berubah sejalan dengan waktu dan situasinya / kondisinya. Tetapi prinsipnya sama : "hidup prihatin" = jangan hedonistis. (Kata dosen kuliah agama saya dulu di Perikanan Undip, hedonistis = hidup hanya mengutamakan kesenangan saja).
**********
Saya masih sering ngobrol dengan anak tentang "hidup tanpa nonton tivi" ketika saya duduk di bangku SMP karena memang orang tua tidak mampu belu tivi. Dulu ada tivi "hitam putih" kuno di rumah, dan ketika rusak memang tidal bisa diperbaiki lagi oleh tukang reparasi tivi. Bagi saya sendiri, "hidup prihatin" tanpa nonton tivi memang tidak mudah : ketika teman-teman saling cerita tentang film yang ditayangkan di tivi semalam, saya cuma bisa mendengarkan. Saya bersekolah di SMP Santo Bellarminus Semarang, yang rata-rata keuangan orang tua muridnya termasuk golongan bawah. Dalam kondisi seperti ini pun, keuangan orang tua saya (sepertinya) termasuk yang paling bawah.
Bersyukur, saya bisa sekolah di SMA Kolese Loyola atas kebaikan hati almarhum Bapak C. Sutono, guru SMA Kolese Loyola yang juga mengajar Bahasa Inggris di SMP Santo Bellarminus. (Mungkin beliau mengajar di SMP Santo Bellarminus sebagai amal, untuk membantu anak-anak seperti saya. Semoga amal bakti beliau diterima Tuhan dan beliau mendapatkan tempat di sisi-Nya. Amin). Tanpa dorongan dari Pak Tono (saya memanggil beliau demikian), saya akan minder / rendah diri mendaftar di SMA Kolese Loyola. Masih ada yang lain lagi : Mas Donny yang masih saudara saya, yang sudah sekolah di SMA Kolese Loyola saat itu, yang dengan bersemangat memboncengkan saya mendaftarkan diri di SMA Kolese Loyola dengan sepeda motornya. Saya senang sekali, karena biasanya saya ke mana-mana jalan kaki (dan naik angkutan umum kalau sedang punya uang).
Nilai positif apa yang bisa kita tularkan kepada anak ? Bahwa orang memang harus SALING MENOLONG dan HIDUP PRIHATIN. Bagi yang ekonominya lemah, HIDUP PRIHATIN = terus berjuang dengan apa yang ada, termasuk bantuan yang diberikan, tetapi jangan terus menggantungkan kepada yang memberikan bantuan (supaya dia juga masih bisa membantu orang yang lain lagi).
Bagi yang ekonominya kuat, HIDUP PRIHATIN = mau meluangkan diri membantu orang yang ekonominya lemah. Mas Donny tentu bisa jalan-jalan naik sepeda motornya, tetapi Mas Donny lebih memilih meluangkan waktu (juga bensin dan tenaga) untuk memboncengkan saya ke SMA Kolese Loyola.
********************
Ketika kuliah di Perikanan Undip, orang tua hanya sanggup membayar uang SPP Rp 20.000 per bulan (bayarnya Rp 120.000 per semester). Padahal, di Perikanan Undip banyak praktikum ke luar kota.
Maka, sejak semester pertama kuliah, saya sudah jalan jaki ke mana-mana : kuliah, jadi salesman buku, jadi agen asuransi, jadi guru les.
Memberi les dari rumah ke rumah dengan jalan kaki (plus naik angkutan kota kalau memang rumah murid les ada di jalur angkutan kota) ini bertahan sampai tahun keenam jadi guru les (sampai akhir kuliah, karena saya 6 tahun baru lulus sarjana), sampai akhirnya saya bisa membeli seped motor secara kredit ! (Itupun yang tanda tangan perjanjian kredit adalah calon bapak mertua saya, Drs. Adi Prabowo, yang bekerja jadi pegawai negeri sipil. Kalau yang tanda tangan kredit adalah saya yang cuma guru les privat atau ayah saya yang bekerja jadi sopir serabutan, pasti tidak bisa cair kreditnya, karena pekerjaannya tidak meyakinkan untuk diberi kredit. Terima kasih untuk bapak mertua saya, yang telah mau menandatangani perjanjian kredit buat saya. Tentu saja, saya harus disiplin membayar angsurannya dari penghasilan saya sebagai guru les privat).
Di sini, gaya "hidup prihatin" (= tidak foya-foya) itu memang memberikan hasil. Dari penghasilan sebagai guru les, saya bisa ikut kursus Programmer Komputer dBase III+ dan kursus Perbankan.
Saya kemudian diterima bekerja di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan cukup lama bertugas di Departemen Luar Negeri - Kantor Cabang Utama Semarang.
Kepada anak saya, saya katakan bahwa "hidup prihatin" itu memang memperlancar jalan hidup kita. Tentu saja, dengan berdoa kepada Tuhan. Dan, pengalaman saya juga : "nyekar" (bahasa Jawa, artinya pergi ke makam orang tua) juga sangat membantu untuk "menenangkan diri dan fokus" dalam meraih cita-cita.
********************
Selamat menemani anak.
"Menemanu Anak = Mencerdaskan Bangsa".
-----o0o-----