Saya tahu, tidak banyak perusahaan yang ada kegiatan karate-nya (atau beladiri yang lain). Pada umumnya, kegiatan olah raga di kantor-kantor adalah badminton atau futsal atau yang lain, yang bisa dipertandingkan dan jelas SIAPA YANG MENANG. Menjadi PEMENANG ini memang fenomena umum di masyarakat per-kantor-an kita, sampai-sampai saya pernah punya teman yang pandai main badminton yang sering di-bon (diakui sebagai karyawan, padahal tidak) oleh berbagai perusahaan tertentu yang akan melakukan pertandingan dengan kantor lain. Kalau dipikir-pikir, itu ada unsur menipu / curang-nya, tapi demi sebuah kemenangan pertandingan "persahabatan" badminton antar perusahaan, ya sah-sah saja. Ini adalah suatu kenyataan.
Bagaimana dengan karate ?
Karate adalah bukan PERMAINAN kalah menang seperti badminton maupun futsal. Memang, bagi praktisi karate yang sudah belajar sampai level terentu, dimungkinkan mengikutipertandingan yang disebut KUMITE. Akan tetapi, orang yang baru pertama kali ikut karate tidak akan diizinkan mengikuti pertandingan ini. Hal ini berbeda sekali dengan badminton atau futsal : siapapun yang ikut, boleh langsung ikut main di pertandingan (meskipun hanya sebatas FUN saja).
"Apakah menurut kamu, hal ini merupakan penyebab dari tidak begitu populernya karate di kantor-kantor ?" tanya sahabat saya, sebut saja Slontrot, kepada saya.
"Kamu sudah tahu jawabnya," kata saya. "Karyawan di kantor-kantor selalu bersemangat membahas siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam pertandingan badminton atau futsal mingguan mereka. Apa kamu bisa membayangkan bahwa kalau kegiatan mereka adalah karate, mereka juga bisa membahas siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam setiap olah raga mingguan di kantor mereka ?"
"Sepertinya tidak ya," kata Slontrot. "Saya membayangkan, berapa banyak karyawan yangcedera".
"Ya," kata saya. "Pemikiran seperti itulah yang ada pada kebanyakan orang. Karate selalu identik dengan cedera. Padahal, di pertandingan badminton dan futsal, yang cedera juga banyak, tapi yang berminat tetap banyak, karena ada KALAH MENANGNYA dan orang yang baru pertama kali ikut pun sudah bisa langsung ikut main. Di karate, tidak bisa".
"Sebenarnya, ke mana arah jawabanmu ?" tanya Slontrot, sahabat saya.
"Bahwa karate itu memang kalah populer dibandingkan badminton atau futsal, bukan berarti kegunaan atau manfaat karate lebih rendah;" kata saya. "Tetapi karena masyarakat kita adalah masyarakat yang lebih suka dengan badminton atau futsal yang setiap kali ada kalah menangnya. Sedangkan di karate, hanya orang-orang yang sudah latihan beberapa lama yang boleh bertanding. Jadi, tidak boleh orang yang baru ikut karate, langsung bertanding. Dia harus sabar latihan dengan sungguh-sungguh dulu".
* * * * *
Selain tidak semua orang langsung boleh ikut bertanding (kalau belum menguasai teknik yang benar), para praktisi karate juga tidak mau diajak berkelahi (apalagi memulai perkelahian). Hal ini juga yang membuat kebanyakan orang semakin gemas dengan karate. Sebab, kebanyakan orang ingin supaya (kalau punya teman) praktisi karate selaluberani berkelahi di jalanan dan MENANG. Kenyataannya, praktisi karate hanya MEMBELA DIRI kalau terpaksa, dan itu pun TIDAK SAMPAI MENANG, tetapi cukuplah kalau lawan sudah dihentikan / tidak menyerang lagi.
"Hmmm.... Memang aneh, ya...." kata Slontrot. "Mempelajari karate, tapi hanya digunakan kalau benat-benar terpaksa. Itupun tidak ada ambisi untuk menang, tapi cukuplah kalau lawan sudah berhenti menyerang".
"Memang demikian," kata saya. "Itu sebabnya, berlatih karate itu berarti berlatih sabar dan mengendalikan diri / rendah hati, dengan tetap selalu siap dan waspada. Kalau kamu mau belajar hal-hal itu, berlatihlah karate".
-----oOo-----
Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.
Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri danOrganisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.